Sabtu, 09/07/22
Ehem...
Hai namaku Cindy, aku punya seorang teman yang sangat dekat denganku.
Kami pertama kali bertemu disebuah SD reyot di pedalaman kampung sebuah daerah yang tak ingin kusebut namanya. Ia adalah anak cengengesan, ingusan, kelakuannya suka ngehayal jadi ultraman, suka berantem, tapi dia pinter banget.
Tiap soal-soal bisa ia kerjakan, meskipun sering kali berbuat masalah.
Waktu itu aku adalah siswi pindahan dari Bandung, jadi suasananya benar-benar berbeda. Sulit bagiku untuk berbaur, karena banyak siswi lain yg mengejekku sebagai anak kota dan mencap-ku sebagai orang elit yang sombong.
Hanya bocah itu yg menarik perhatianku, meski tingkahnya benar-benar tak bisa kuprediksi, ia tak pernah sekalipun melontarkan kata-kata ejekan atau hinaan padaku.
Singkat cerita kami berkenalan, karena di kelas 8. Kami sekelas dan kebetulan teman sebangku.
Setiap hari aku kagum dengan kecerdasannya dalam menjawab soal-soal, jika ulangan ia adalah firstman dalam keluar ruangan.
Lama kelamaan rasa kagumku berubah menjadi rasa sayang padanya. Sebab ia adalah remaja yg baik dimataku, dari sudut pandang orang lain ia memanglah remaja nakal, tapi dimataku dia adalah permata.
Aku memang menyukainya, tapi aku tak tau apakah dia memiliki perasaan yang sama.
Sedikit cerita tentang dia, dia adalah yatim piatu di kampung itu, tanpa orang tua sejak kelas 3 SD, hanya tinggal bersama pamannya yang telah lama menduda.
Hal itu juga yang membuatku semakin tertarik padanya, bagaimana anak kecil sableng seperti dia bisa bertahan hidup didunia ini.
"Eh aku mau nanya...", kataku.
"Apaan, gausah aneh-aneh, cepetan", jawabnya seperti biasa, singkat padat jelas.
"Nanti kalo tamat SMP, kamu mau lanjut kemana?".
"ya SMA lah" jawabnya sambil mengerutkan dahi. "Tapi kayaknya aku lebih baik cari kerja aja, di kampung beda sama kota, anak kecil disini udah biasa kerja". Tambahnya.
"Tapi kan kamu pinter, cari beasiswa aja lah".
"Maunya si gitu, liat ntar aja".
Singkat cerita kami tamat, dengan dia sebagai peraih nilai tertinggi, bukan itu aja, namanya tercatat tertinggi diseluruh kabupaten.
Untuk itu dia berhak menerima beasiswa penuh selama sma. Aku pun tak menyianyiakan kesempatan ini, aku langsung mengajak dia mendaftar di sekolah pilihanku, dengan harapan agar aku bisa lebih lama bersamanya, karena cuma dia yg bisa mengerti apa yg aku fikirkan.
Setelah semua selesai, ternyata kami tidak sekelas... Sedihnya.
Aku pun mencari-cari dimana kelasnya, dan sialnya ternyata dia duduk sebangku dengan cewek, cantik pula.
"Kampret, keduluan aku''. Gerutu ku.
Tapi tampaknya dia tak terlalu tertarik pada cewek itu, hal itu membuatku sedikit lebih tenang.
Sial nya ia melihatku dibalik jendela dan seketika ia sudah di belakangku sambil menaruh kepalanya diatas kepalaku dan berkata, "Ngapain disini, kan bukan kelasmu".
"Iya tau, cuma penasaran aja kamu dimana".
"Penasaran apa penasaran?",katanya membuat pipiku memerah.
"i-ih apaan sih, ga lucu tau".
"Ga lucu tapi idung mu merah tuh", katanya sambil memegang hidungku.
Sepulang sekolah kami tak langsung pulang. Dia ada kegiatan palang merah sedangkan aku ada club tari.
Ketika aku mau pulang, kami berpapasan dikoridor. "Kebetulan ketemu, mau nunggu hujan reda?" tanyaku yang memang sore itu hujan tak kunjung reda semenjak pelajaran ketiga dimulai.
"Hmmm hari ini hujannya deras yah", kata ku sambil memakai sweater kebesaran yg dibeliin mama waktu masih dibandung.
"Iya sih, huh dingin", katanya sambil mengepalkan tangannya.
"Kamu dingin, sini aku peluk",
"Heh ga boleh bego", katanya sambil menekan jidatku menjauh.
"Ih kan pengen uwu-uwuan gitu"
"Yauda sini", tanpa di duga ia menarikku lalu memelukku dari belakang, emm postur tubuhnya emang rada besar daripada aku yg kecil unyu-unyu, jadi tubuhku pas dipeluk sama dia.
Hari itu merupakan hari yg sangat berkesan padaku karena dihari itu pertama kalinya dia memelukku.
Tak lama setelah aku dipeluknya, aku jatuh pingsan dengan darah membasahi wajahku, ternyata pembuluh darahku pecah.
Ingatanku hanya sampai situ saja, selebihnya saat terbangun aku sudah dirumah sakit dengan segala macam alat aneh menempel ditubuhku.
Disamping ku ada mamah yang sedang shalat Dzuhur, saat menoleh ke jendela kulihat dia sedang duduk termenung, ingin sekali kupanggil namanya dan memintanya memelukku lagi, namun bibirku membeku, suaraku tak lagi keluar
Aku hanya bisa terdiam mendengarkan percakapan orang-orang yang menjengukku.
Ternyata yang kulihat bukan lah dia, itu hanya fatamorgana imajinasiku.
Dia sebenarnya menunggu dikoridor utama lantaran belum diizinkan masuk oleh penjaga.
Berhari-hari aku dirawat disana, rasanya begitu tersiksa tanpanya.
Padahal sebentar lagi kami akan tamat SMA, dan melanjutkan bangku perguruan tinggi.
Setelah dua minggu dan lima kali operasi, akhirnya dia muncul dikamarku.
Ia datang dengan pakaian lusuh, tubuh kurus, mata bengkak tanda habis menangis panjang.
Ia hanya berdiri mematung didepan ranjangku, tanpa sepatah kata pun keluar dari bibirnya.
"Hei ngapain disitu, banyak lalat", sahutku.
Tak lama kulihat tangannya bergerak mendekat, kukira ia ingin mengelus wajahku, ternyata ia memegang hidung ku seperti biasanya.
"Kamu kuat", kata pertama yang ia lontarkan setelah dua minggu tak bertemu.
"Iya... Aku kuat, kamu jangan nangis dong, makin jelek tau". Kataku untuk menghiburnya.
Seketika ia terdiam dan air matanya mengalir perlahan membasahi wajahnya yg kering, tampak ia belum makan berhari-hari.
"Kamu pasti belum makan kan, itu ada roti, sarapan gih".
Ia hanya menggangguk lalu menyambar roti itu dan melahapnya dengan perlahan sambil terus menangis.
Kuangkat tanganku membelai rambutnya, begitu hangat, begitu nyaman yang kurasakan.
"Cin... Kamu udah tau penyakit mu?", tanya nya.
"Iyah aku tau, gapapa kok".
"Maaf aku ga bisa berbuat apa-apa untukmu".
"Kok bilang gitu, kamu udh datang aja aku udh bahagia banget, rasanya aku bisa sembuh besok",
"Semoga saja Cin". Ia menunduk lesu menutup wajahnya.
Belum lama kami mengobrol datang suster mengusirnya keluar.
Katanya aku harus operasi yang terakhir.
Sebelum dia pergi, dia berkata,
"Kamu harus sembuh, aku ga bisa kalau ga ada kamu".
Kata-katanya bagaikan batubara dihati mesin ketel uapku.
Hari ini 3 maret 2015, operasiku yang ke-6 kalinya, jika sukses maka aku akan selamat, jika tidak ini adalah akhir hidup ku.
Ingatan terakhirku adalah saat kulihat lampu ruangan ICU berkedip, lalu semua gelap.
"Cin... Cindy, kamu dimana" Terdengar suara memanggil namaku. "Aku disini jangan pergi,
jangan tinggalkan aku". Suaranya kian mengeras. Saat kubuka mataku ternyata ia ada disampingku menangis.
"Kuraih tangannya dan berkata, "H-hey kok nangis sih, a-aku disini ga kemana",
"Cin....". Tangisnya mulai mereda.
"Mar. Ada yang mau aku omongin"
"Apa". Tangisnya mereda, air matanya juga telah ia usap.
"Emm agak berat sih, aku mau pesan ama kamu".
"Heh gamau, jangan omong yang aneh. Kamu udah janji sama aku, kita akan sekolah sama- sama, kita akan kuliah sama-sama. Jangan tinggalin aku Cin".
"Maaf Mar, aku gabisa megang janjiku. Ini ada cincin buat kamu, tolong dijaga. Sekalian aku titip pesan, kamu jangan sedih terus, kamu kuat Mar, kamu bisa bertahan tanpa orang tua, kalo kamu sedih terus, aku juga ikut sedih". Suaraku kian mengecil. Rasa sesak didadaku kian menguat.
"Jangan ngomong gitu ih"
"A-aku ga tahan lagi Mar, sakitnya udah ga bisa kusembunyiin lagi".
Tangisnya makin mengeras.
Tangannya begitu hangat, perlahan tak kurasakan lagi tanganku, tubuhku sudah perlahan mendingin.
"Mar, apapun yang terjadi aku selalu berada dihatimu, kamu selalu dihatiku, kamu cinta pertama dan terakhirku, kalau nanti kamu merasa sendiri pegang cincin itu, dan rasakan aku ada memelukmu, aku akan selalu merangkul jari-jarimu, seperti hari hujan itu, seperti kamu memelukku dengan erat dihari hujan itu. Jika nanti kamu dewasa, ku harap kamu bisa memiliki istri yang lebih baik dari aku".
"Udah yah Mar, aku mau tidur, titip cincin ini..."
Selamat tinggal Cindy...
Oneshot dibuat oleh : Daeng Ammar
0 Komentar